Setelah menempuh 6 jam perjalanan yang menyenangkan (sekaligus menegangkan) dari Napal Putih naik mobil menuju jembatan ronggeng lalu dilanjutkan naik kereta molek (motor lori ekspres) akhirnya kami tiba di tujuan. Sebuah desa yang sejak awal abad 20 sudah terkenal sampai Eropa sebagai daerah penghasil emas.
Malam tadi, malam pertama kami bermalam di desa Lebong Tandai Kecamatan Napal Putih Bengkulu Utara.
Atas bantuan Irul, seorang teman lama yang sekarang menjadi penambang emas dan anggota BPD Lebong Tandai. Kami diperkenankan bermalam di 'Pondok Baru' sebuah bangunan kuno berdinding papan peninggalan perusahaan Belanda bernama Mijnbouw Maatschapij Simau. Bangunan ini berbentuk memanjang mirip rumah adat suku Dayak Kalimantan.
'Kue..... kue....' suara penjaja kue memecah keheningan pagi.
Sontak Aprinaldi yang baru pulang dari mesjid bangkit menuju pintu memanggil penjual kue keliling itu. Bu Sunarni demikian sering dipanggil.
'Apa saja kuenya bu?', tanya Dang Babul (Dang merupakan panggilan orang Bengkulu untuk kakak tertua). 'Ada untul-untul (berisi kacang hijau mirip ondek-onde), misoa (mirip pergedel), pisang goreng, bakwan, bugis,kue lapis, godok-godok, bakpau dan pastel', jawab bu Sunarni.
Tommy yang tadinya rebahan dengan semangat langsung duduk menghadap keranjang kue, semua jenis kue dipilih. Wajar, sebab jenis kue di depan kami memang sudah sulit didapat.
'Beli agak banyak bang, untuk ganjal-ganjal perut, nanti siangkan kita mau mandi ke Gowok', ujar Andri Uun (Gowok merupakan tempat pemandian yang bersebelahan dengan pemandian Kedung Panjang peninggalan Belanda).
Sebenarnya ada dua penjual kue di sini, yang satu lagi bu Dasy Astuti yang berjualan kue di rumah. Jika anda berkunjung ke sini jangan khawatir. Bu Sunarni dan bu Dasy tak pernah libur.
Meski Desa ini kecil tapi denyut kehidupan sudah terasa sejak subuh, para penambang sudah bersiap berangkat. Para istri sudah sibuk menyiapkan sarapan pagi dan bekal untuk suaminya.
Bagi mereka yang tak membawa keluarga bisa makan di warung bu rini dan bu heriyani dengan menu sayur asam, ayam dan ikan goreng, rendang dan sambal tempe. Warung ini tak pernah libur mungkin mengikuti ritme kehidupan para penambang. *
Oleh : Agustam Rachman, MAPS.
Penulis, menetap di Yogyakarta.
