Oleh: Irman Dinata, kandidat "kades konoha"
Masa penjajahan Indonesia dimulai ketika Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) memantapkan dirinya sebagai kekuatan ekonomi dan politik di pulau Jawa, setelah runtuhnya Kesultanan Mataram di abad ke-16. Walaupun sebagai perusahaan dagang, dalam perkembangannya Belanda mulai berminat untuk campur tangan dalam politik pribumi.
Proses ekspansi politik menyebabkan penjajahan terasa lama, berabad-abad hingga abad ke-18. Untungnya, VOC runtuh akibat korupsi, seiring dengan tunduknya Belanda di tangan Inggris melalui kekaisaran Perancis. Benteng Marlborough menjadi saksi bisu kehadiran Inggris di Kota Bengkulu, lokasinya terhubung langsung dengan pelabuhan Tapak Paderi yang memuat perkembangan dagang kala itu.
Kekalahan Napoleon di Waterloo berdampak pada keputusan bahwa sebagian besar wilayah jajahan kembali ke tangan Belanda.
Alih-alih mempertahankan kekuasaan, Belanda memperkenalkan surat kabar di Indonesia, berisi tentang kepentingan politik. Dalam perkembangannya, terbit pula surat kabar berbahasa Inggris, Jawa dan Melayu sebagai bentuk perlawanan, walaupun masih ada campurtangan Belanda sebagai redakturnya.
Blunder pun terjadi, terbit surat kabar pertama karya anak bangsa di Bandung bernama "Medan Prijaji" di tulis oleh Tirto Adhi Soerjo. Kondisi ini dimanfaatkan oleh para tokoh sebagai pelopor lahirnya pers di Indonesia dalam kebebasan berpendapat, dengan terbentuknya organisasi Persatoean Djoernalis Indonesia (PERDI) untuk mendorong perjuangan dan persatuan bangsa Indonesia.
Upaya itu tidak berlangsung lama, Jepang pun datang dan mulai menjajah, dengan menguasai ranah pers Indonesia. Barulah setelah kemerdekaan tahun 1946 seluruh wartawan bersepakat membentuk organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) untuk bangkit dari belenggu penjajah di tanah air.
Disahkannya, Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang pers, menjadi angin segar karena memperkuat kemerdekaan pers di mata hukum. Bahkan di abad ke-20 kebebasan berpendapat terus berkembang tidak hanya dicetak oleh surat kabar, akan tetapi disiarkan melalui teknologi siber, televisi dan radio.
Bagaimana dengan Artificial Intelligence (AI)? Tidak perlu dikhawatirkan, pers yang murni akan tetap abadi.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar